PESAWARAN–Suaradaerahnews.com
Mantan Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Pesawaran Johnny Corne memaparkan perbedaan menggunakan ijazah palsu dengan tidak memiliki ijazah.
Johnny mengatakan, seseorang yang diduga menggunakan ijazah palsu atau sering disebut ijazah bodong, seolah-olah memiliki ijazah yang mirip betul dengan ijazah asli namun setelah diteliti dan ditelusuri keabsahannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Untuk membuktikan apakah ijazah itu palsu harus melalui penyidikan dan ditetapkan oleh putusan pengadilan. Kasus ijazah palsu atau bodong yang banyak ditemui antara lain: nomor ijazah tidak terdaftar di database, nomor ijazah terdaftar di database tapi dengan nama yang berbeda, nomor dan nama tidak terdaftar di database, sekolah atau lembaga tidak terdaftar di database,” kata Johnny kepada waktuindonesia.id, Kamis 26 Desember 2024.
Menurutnya, konsekuensi bagi seseorang yang diduga menggunakan ijazah palsu, bila dia akan diangkat dalam jabatan tertentu yang persyaratannya harus menggunakan ijazah tersebut tergantung dari kebijakan yang diberikan oleh instansinya. Ada juga yang pengangkatannya tetap dilaksanakan, dan ketika terbukti ijazahnya palsu yang bersangkutan diberhentikan dan biasanya diikuti adanya konsekuensi hukum yang mengikutinya. Kemudian ada lagi instansi atau lembaga yang menunggu pengangkatan yang bersangkutan sampai dengan ada putusan pengadilan.
Dirinya menjelaskan, berbeda dengan kasus dugaan ijazah palsu, maka kasus dugaan tidak punya ijazah lebih cepat pembuktiannya dan konsekuensinya bagi seseorang yang akan diangkat dalam jabatan tertentu di instansi/lembaga/perusahaan manapun hanya satu, yaitu tidak memenuhi syarat sehingga tidak dapat diangkat dalam jabatan tersebut.
Kasus-kasus dugaan tidak memiliki ijazah yang sering terjadi seperti:
1. Seseorang yang memanipulasi foto copy ijazah orang lain untuk mendaftar/memenuhi persyaratan tertentu, dan ketika diminta menunjukan ijazah aslinya, dan yang bersangkutan tidak bisa menunjukannya. Maka sudah pasti lamarannya akan ditolak atau posisi yang akan didudukinya langsung dibatalkan.
2. Seseorang yang hanya mengaku-ngaku saja lulusan pendidikan tertentu, tapi ketika diminta menunjukan ijazahnya tidak bisa.
3. Seseorang yang dicabut ijazahnya, karena lembaga yang mengeluarkan ijazahnya ilegal.
4. Seseorang yang dicabut ijazahnya oleh lembaga/universitas yang menerbitkan ijazahnya karena ditemukan pelanggaran dalam proses mendapatkannya, misalnya karena tesis/disertasinya diketahui plagiat.
5. Seseorang yang dicabut ijazah/STTB/SKPInya oleh sekolah/lembaga/instansinya karena berbagai alasan, misalnya karena ditemukan pemalsuan data, kesalahan prosedur pembuatanya, dan khusus untuk Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI) tidak dapat terkonfirmasi sekolah/lembaga yang menerbitkan ijazah yang bersangkutan yang dinyatakan hilang.
6. Seseorang yang mengaku memiliki ijazah/STTB/SKPI, tetapi yang Ia tunjukan dokumen yang tidak dapat dikatagorikan sebagai ijazah/STTB/SKPI.
“Karena tidak semua dokumen yang berjudul ijazah itu dapat dikatakan sebagai ijazah jika isinya tidak sesuai dengan standar sebuah ijazah. Sama dengan dokumen-dokumen lain yang ada di Indonesia, misalnya seseorang yg memegang KTP tapi hanya mencantumkan nama saja tanpa ada NIK-nya, maka orang tersebut dianggap tidak punya KTP,” ungkapnya.
Menurutnya, hal itu sama dengan seseorang yang memegang STNK tapi hanya mencantumkan nama saja tanpa ada nomor polisinya, maka dikatakan mobil yang dibawanya tidak memiliki STNK.
“Dengan penjelasan tersebut, maka jika ada seseorang yang memegang ijazah/STTB/SKPI hanya mencantumkan nama saja tanpa ada nomor ijazahnya, maka berarti orang tersebut tidak memiliki ijazah,” kata dia.
Dirinya menegaskan, bahwa pengguna ijazah palsu maupun orang yang mengaku-ngaku punya ijazah dapat terkena beberapa sanksi pidana, yaitu pemalsuan, penipuan, gelar palsu dan apabila orang tersebut pernah menduduki jabatan, dapat terkena pidana korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara.
“Penyalahgunaan manipulasi ijazah merupakan bentuk penyalahgunaan kepercayaan masyarakat, sehingga sangat diragukan integritas penggunanya,” pungkasnya.(Wanturi)